Hari Raya Penderitaan

Cerpen Alim Musthafa

(Republika, 02 Mei 2021)

Pagi merekah, gaung takbir bertalu, jalan-jalan kampung Topoar mendadak ramai: para lelaki berbondong-bondong menuju masjid terdekat, sementara para wanita hilir mudik menyunggi talam, menghantarkan eneka kue dan masakan ke rumah-rumah kiai aji sebagai selamatan. 

Namun, saat semua orang diberkahi kebahagiaan hari besar itu, Jamila hanya meringkuk di dalam kamar, mendekap kesedihannya sendiri, meski Tuma, ibunya yang lain tak berhenti memintanya mandi dan bersolek diri.

“Mau mandi sendiri apa mau dimandikan Jamila?” Akhirnya Sukri, ayah Jamila turun tangan. Ia membuka pintu dengan kasar, sedang tangannya memegang batang sapu lidi seukuran tangan anak kecil.

Jamila tetap tak peduli. Ia duduk membisu di tubir ranjang dengan tatapan kosong. Menghadap tembok yang tertempel gambar kaligrafi ayat Alqur’an.

Tak ada respon, lelaki yang sudah dikuasai amarah itu gegas mendekati Jamila, meraih tangannya dengan kasar, lalu menyeret paksa ke luar kamar. Beberapa kali ia mendaratkan batang sapu itu ke tubuh putrinya setiap kali meronta dan berusaha kabur.

“Cepat mandi! Ayah tak mau tahu, pokoknya kamu harus sudah selesai dandan sepulang Ayah dari masjid nanti,” tegas Sukri setelah membukakan pintu kamar mandi untuk Jamila.

Jamila sesunggukan. Ia tidak hanya merasakan sakit fisik, tapi juga tekanan batin yang mendalam. Ia tidak tahu bagaimana ayahnya bisa sekejam itu. Padahal hari itu hari raya, di mana ia seharusnya dimanja dengan kebahagian, malah tak berhenti dicekoki penderitaan.

Namun, Jamila hanya bisa pasrah. Ia menyadari nasib buruk memang selalu membayang-bayangi hidupnya sejak Aminah, ibu kandungnya, pergi untuk selamanya. Mula-mula, ia dibuat sesak hatinya oleh tingkah ayahnya yang memilih menikah lagi sebelum kematian ibunya genap mencapai tujuh hari. Padahal ia sudah begitu berduka atas kehilangan orang tersayang itu. Karena itulah ia tidak kerasan lagi tinggal di rumah dan memilih buru-buru balik ke pesantren tanpa menunggu acara tahlilan terakhir untuk kematian orang yang telah melahirkannya itu.

Di sepanjang jalan menuju penjara suci itu, Jamila tak berhenti meneteskan air mata, sampai matanya membengkak, sampai perhatian orang-orang tertuju ke arahnya. Ia tak habis pikir kenapa ayahnya begitu mudah dan buru-buru menikah lagi, dan kenapa juga harus memilih wanita itu. Padahal, dari desas-desus yang beredar di masyrakat sekitar, ia tahu wanita itulah yang justru menjadi penyebab ibunya jatuh sakit dan kemudian meninggal.

Perasaan Jamila kemudian berangsur-angsur membaik setelah kembali berbaur dengan teman-temannya di pesantren. Ia mulai menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk melupakan kesedihan sekaligus kebencian yang ia bawa dari rumahnya. Ia kembali menata hatinya. Membuka lebar-lebar masa depannya. Dalam setiap kegiatannya, tak lupa ia selalu meniatkan untuk menghadiahkan pahala-pahala amal baiknya kepada sang ibu yang telah meninggal, agar mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan.

Namun, ujian untuk Jamila ternyata tidak berhenti sampai di situ. Setelah semuanya hampir membaik, Sukri bersama istrinya tiba-tiba mengunjunginya  dan mengabarkan bahwa dirinya sudah ditunangkan. Tentu saja ia syok mendengar kabar yang mendadak itu. Ia berusaha menolak pertunangan sepihak itu dengan cara menangis dan memukul-mukul dada ayahnya, tapi ayahnya tak peduli, bahkan mengatakan Jamila beruntung telah memiliki tunangan yang diidam-idamkan banyak gadis di desanya.

Jamila tak juga berhenti menangis meski orang tuanya sudah pulang dari pesantren. Ia duduk bercangkung di pojok kamar sembari membenamkan wajah ke kedua lututnya yang tertutup rok panjang. Satu-dua temannya mendekat dan berusaha menghibur. Tapi usaha itu sia-sia, tangisan Jamila makin menjadi-jadi. Sementara itu, teman-temannya yang lain hanya diam membisu di mulut pintu, bahkan sebagian sampai meneteskan air mata karena kasihan.

Entahlah, mengapa Jamila begitu tak menginginkan pertunangan itu? Padahal menurut penuturan ayah dan ibu tirinya, Tajib, pemuda yang telah resmi menjadi tunangannya itu adalah pemuda tampan dan terkaya di desanya, pemuda yang tentu akan mampu menjamin hidupnya sampai tua. Tapi Jamila mengatakan tak peduli dan tak membutuhkan itu. Sebab ia sudah punya pilihannya sendiri. Seorang pemuda berstatus santri yang telah ia beri harapan dan berjanji akan mendatangi rumahnya dan meminangnya suatu hari nanti.

Status pertunangan itu ternyata benar-benar menjadi beban bagi Jamila. Dari hari ke hari, tubuhnys semakin kurus saja karena banyak pikiran dan jarang makan. Gairah belajar pun jadi padam. Kalaupun ikut hadiran, ia lebih banyak termenung. Bahkan kadang didapati terisak saat sedang menyendiri di pojok kamar. Teman-temannya juga bingung, sebab hiburan apa pun tak pernah mempan. Bahkan karena merasa kasihan, salah satu temannya pernah nekat membujuk orangtuanya agar anak gadisnya itu dibebaskan, tapi sayangnya mereka tetap teguh pendirian.

Keadaan Jamila tetap tak juga membaik sampai akhirnya liburan pesantren tiba. Liburan menjelang bulan puasa. Namun berbeda dari santri pada umumnya, Jamila justru tak menyambut baik liburan panjang itu. Ia sepertinya tak ingin pulang ke rumah. Pulang ke rumah, menurutya, hanya menyerahkan diri pada penderitaan. Tapi pada akhirnya ia tetap pulang juga, karena Sukri menjemputnya beberapa hari kemudian.

***

Tuma berdiri kaku di ambang pintu saat Jamila baru saja usai mandi. Ia mengawasi anak tirinya itu yang tetap mematung, terisak-isak, dan tak hendak menyentuh setelah baju baru di sisinya. Setelan baju itu baru saja ia antarkan untuk Jamila setelah lima hari yang lalu ia terima dari tunangannya sebagai hantaran untuk dikenakan saat Lebaran.

“Cepat pakai bajunya, Jamila! Sebentar lagi tunanganmu datang,” teriak wanita itu dengan raut yang mulai merah padam.

Jamila hanya melirik sekilas setelan baju itu, lalu kembali terdiam. Ia tahu, setelan baju itu pemberian Tajib, tunangannya dan ia merasa tak sudi memakainya meski harganya mahal dan tampak cantik jika melekat pada tubuhnya.

“Kamu kira, dari tadi Ibu hanya menggertak sambal, Jamila?” Wanita itu tiba-tiba mendekat, meraih kuping Jamila, lalu menjewernya kuat-kuat sampai gadis malang itu semakin terisak. “Ayo cepat pakai jika tak ingin merasakan yang lebih keras lagi!”

Tangis Jamila kian tak terbendung. Akhirnya ia terpaksa menuruti keinginan ibu tirinya. Ia pikir akan lebih menderita lagi jika terus-terusan menolaknya. Ah, Jamila benar-benar bernasib malang.

“Berhentilah menangis dan dandanlah yang cantik! Sebentar lagi tunanganmu akan menjemput,” tegas wanita itu setelah melepaskan jeweran dan kembali mengawasi.

Jamila beranjak, mendekati cermin di sisi ranjang, menatap wajahnya sendiri sebelum akhirnya mengenakan setelan baju itu pelan-pelan. Sementara itu, di kedalaman hatinya, ia mengutuk wanita itu, membenci setelah baju di tubuhnya, dan mulai memikirkan cara untuk membuat mereka kecewa dan menyesal.

***

Tajib datang dengan motor gede, menjinjing parsel khas lebaran, lalu menyerahkannya pada Sukri dan Tuma yang berdiri menyambutnya dengan bahagia. Sukri lantas mempersilahkan Tajib masuk dan duduk di ruang tamu yang sebelumnya sudah disajikan aneka makanan dan minuman khas. Beberapa saat Sukri mengajak Tajib ngobrol sebelum akhirnya meminta Tuma memanggil putri semata wayangnya.

“Suruh Jamila keluar, tunangannya sudah menunggu!” seru lelaki itu pada wanita itu.

Namun yang ditunggu tak juga muncul, hanya Tuma yang keluar dengan raut kepanikan.

“Anu, Mas, ... “ Tuma mengadu dengan suara terbata, “Jamila sudah tak ada di kamarnya. Di kamar lain juga tidak ada.”

“Bagaimana ini bisa terjadi? Kan kamu yang menjaga rumah? Jadi ibu kok tidak becus!” Suara Sukri mendadak meninggi.

“Maaf, Mas, saya memang tidak pernah lihat Jamila keluar kamar.”

“Pasti kamu yang teledor!”

Sukri pun bangkit, meniggalkan Tajib, dan mencoba memeriksa kamar demi kamar. Namun pemeriksaan itu sia-sia saja. Jamila memang sudah tidak ada di sana.

“Kita kejar! Mungkin masih tak jauh dari sini,” ajak Sukri.

Sukri dan istrinya gegas turun ke jalan. Tak lupa juga Tajib turut membantu. Mereka mencoba bertanya pada setiap orang yang ditemui di jalan. Namun sayangnya, orang-orang itu tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan.

Sementara itu, Jamila sudah berada di areal pemakaman, duduk bersimpuh di sisi nisan sembari menangis tersedu tanpa mempedulikan peziarah-peziarah yang mulai datang. Pada nisan itu, ia tak berhenti menyeru, “Ibu, Jamila sudah tidak kuat lagi. Jamila ingin menyerah dari penderitaan ini.”

Kota Ukir, April-Juni 2020



Posting Komentar

0 Komentar