POHON itu tidak tinggi. Bentuknya mirip pohon beringin di gambar Pancasila dengan daun yang begitu rimbun. Ia satu-satunya pohon yang dibiarkan Ayah tetap tumbuh di halaman rumah hingga berbuah. Nama pohon itu pohon mangga, dan kata Ayah, aku dan pohon itu saudara.
Entahlah, bagaimana aku dan pohon itu bisa disebut saudara? Padahal kami jelas-jelas berbeda, aku seorang keturunan manusia, sementara pohon itu bangsa tumbuh-tumbuhan yang hanya bisa tumbuh tapi tak bisa bicara. Namun, Ayah tetap bersikukuh dengan keyakinannya bahwa pohon itu berasal dari sebongkah ari-ari yang dikuburnya di halaman rumah beberapa jam setelah aku dilahirkan ke dunia.
Aku nyaris tidak percaya dengan cerita Ayah yang terdengar ganjil itu. Mana mungkin pohon mangga tumbuh dari biji yang bukan biji mangga. Apalagi dari sebongkah ari-ari yang jelas-jelas berasal dari rahim wanita. Kupikir Ayah mengada-ada. Mungkin sebelumnya Ayah atau Ibu pernah makan buah mangga, lalu bijinya dibuang sembarangan di halaman rumah. Dan setelah aku dilahirkan, tanpa sengaja Ayah mengubur ari-ari itu tepat di mana biji mangga itu tertimbun tanah. Hingga akhirnya biji itu tumbuh setelah beberapa hari tanah menyerap cairan basah.
Namun, Ayah bilang ia dan Ibu tak pernah makan buah mangga sejak Ibu mengandung. Tetangga juga tak punya pohon mangga yang kemungkinan buahnya dicolong codot, lalu bijinya dilepas di halaman. Sampai di sini, pikiranku benar-benar buntu. Tak punya bukti dan kata-kata lagi untuk menyangkal bahwa Ayah kaliru. Mungkin aku harus menerima kenyataan itu sebagai sebuah keajaiban, bukankah kita percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan jika sudah berkenan?
Di desa kami, ari-ari yang lahir bersama jabang bayi memang disebut sebagai saudara meski tak berbentuk manusia. Ari-ari itu akan dikubur setelah diputus dari perut sang bayi dengan tajam kulit bambu. Dan biasanya orang tua di kampung kami akan memilih tempat penguburan di depan rumah. Katanya, biar mudah dirawat dan kelak sang bayi bisa mudah tahu bahwa saudaranya dikubur di sana. Dan karena pohon mangga itu tumbuh tepat di mana ari-ri itu dikubur, orang tua lantas berkeyakinan dan menyebut-nyebut aku dan pohon itu saudara.
Pohon mangga itu kini sudah berbuah. Buahnya lebat dan rasanya manis. Berbeda dengan buah mangga yang biasa kutemui di pinggir jalan menuju pasar. Di sana pohon-pohon mangga memang tinggi-besar, tapi buahnya jarang-jarang dan rasanya sedikit masam. Kupikir itu pasti bukan jenis mangga yang digemari banyak orang. Karena itulah tak heran jika bocah-bocah seusiaku suka bermain di halaman rumah, lalu diam-diam memetik mangga selepas kepergian Ayah dan Ibu ke sawah.
Meski tahu mereka suka mencuri mangga, aku memilih membiarkan saja. Kupikir tak masalah mereka menikmati sedikit mangga, toh mereka adalah teman-temanku yang selalu membuatku bahagia. Namun demi menghindari kecurigaan Ayah, tak lupa kuwanti-wanti mereka agar tidak meninggalkan jejak seperti ranting patah atau daun-daun muda yang lepas dari tangkai sebelum pergi dari sana.
Selain itu, tak kubiarkan mereka berlama-lama di bawah pohon mangga. Begitu semua mendapat bagian, buru-buru kuajak mereka pergi mencari tempat yang sepi dan aman. Kubilang pada mereka bahwa hanya di tempat yang sepi dan aman kita bisa leluasa menikmati mangga sambil ngobrol sesuka hati tanpa takut ketahuan Ayah.
“Tapi kulihat selama ini kamu tak pernah makan mangga bereng kami, Royhan. Sebenarnya apa yang terjadi?” Salah satu dari mereka tiba-tiba nyeletuk saat ketahuan aku hanya jadi penonton.
“Tidak ada apa-apa, Kawan. Kebetulan saja aku memang belum berselera.” Aku mencoba menutup-nutupi.
Sebenarnya, aku ingin sekali menikmati mangga seperti mereka. Tapi ucapan Ayah selalu terngiang-ngiang setiap kali keinginan menikmati mangga muncul di dada. “Nak, kamu dan pohon itu saudara. Jadi jangan sekali-kali makan buahnya jika tak ingin hal buruk terjadi pada kamu dan pohon itu.” Begitulah wanti-wanti Ayah saat pohon itu berbuah pertama kali.
Tak kusangka, Ayah masih percaya pada takhayul. Bagaimana mungkin nasib burukku dihubung-hubungkan dengan yang lain? Bukankah nasib ada di tangan kita sendiri? Baik ataupun buruk tergantung bagaimana kita bersikap, bertindak, dan memandang kehidupan ini? Namun bagaimanapun, kupikir Ayah tak adil. Ia dan Ibu boleh menikmati mangga sesuka hati, tapi aku malah dilarang. Hal itu kemudian membuatku berpikir untuk tidak lagi menuruti kata-kata Ayah.
Hari itu, saat Ayah dan Ibu tidak ada di rumah, kucari teman-teman dan kuajak mereka bermain di bawah pohon. Kuminta mereka memetik mangga sebanyak-banyaknya. Kali itu aku ingin menunjukkan bahwa aku juga suka makan mangga seperti mereka.
“Tumben, baru kali ini kami melihatmu makan mangga, Royhan,” komentar salah satu temanku.
“Hiii…, aku memang tidak makan mangga, lebih tepatnya dilarang makan mangga. Tapi hari ini, aku tak ingin peduli.” Akhirnya aku pun mengaku.
“Aneh! Bagaimana bisa dilarang, Royhan?”
“Sudah, ini tak penting ditanyakan. Mending kita cepat nikmati mangganya!”
Seperti keyakinanku, aku tak merasakan ada hal aneh terjadi padaku. Karena itulah aku mulai berani memetik mangga sendiri tanpa minta bantuan teman-teman. Kupikir Ayah hanya ingin menakut-nakuti aku agar aku tak seenaknya makan mangga.
Namun, keanehan itu justru kutemukan pada pohon mangga. Tiap hari kulihat daun-daun dan buah-buah mangga berguguran. Pohon itu sepertinya mulai layu. Padahal Ayah sudah merawat pohon itu sebagaimana merawat tanaman-tanaman kesayangannya di sawah.
Ayah juga mulai menyadari adanya perubahan pada pohon mangga. Ayah tampak bingung, tapi tak menyerah. Ia berusaha mencari cara agar pohon itu kembali segar seperti sediakala. Dan Ibu juga tampak bingung, tapi bukan karena pohon mangga, melainkan karena Ayah mulai meninggalkan sawah dan hanya suka menunggui pohon mangga.
Entah bagaimana usaha yang dilakukan Ayah, pohon itu akhirnya tak jadi mati. Ayah senang dan kembali beraktivitas seperti biasa: menyabit rumput untuk pakan ternak dan menjaga tanaman padi di sawah. Tapi, aku dan teman-teman masih dirundung rasa takut. Karena itulah kami berjanji tidak akan memetik mangga lagi sampai pohon itu kembali sehat seperti semula.
Aku dan teman-teman tetap suka bermain di halaman. Dan kalau lagi keroncongan, kami memilih mencari pengganjal lain, misal memetik jambu air atau pepaya yang tumbuh di belakang rumah. Tapi, pada suatu hari, kami tak sengaja melihat mangga-mangga sudah banyak yang ranum. Jadi, akhirnya kami tak jadi memetik buah-buah di belakang karena lebih tertarik pada mangga-mangga di halaman.
Hari itu, kami panjat pohon itu secara berebutan karena khawatir tidak kebagian mangga yang sudah ranum. Beberapa saat kami sempat saling lempar guyon. Namun siapa sangka, cabang pohon yang kami tunggangi tiba-tiba patah sebelum tangan kami selesai memetik mangga-mangga yang diinginkan. Kecelakaan pun tak bisa dihindari. Kami jatuh dan saling menimpa.
Kami tahu, pohon itu tidak tinggi, tapi tentu saja kami merasa kesakitan. Di antara kami, ada yang luka ringan, ada yang luka parah, ada yang cedera tangan, ada yang cedera kaki, bahkan ada yang mengalami sakit hingga sekujur tubuh. Dan anehnya, yang terakhir ini kebetulan menimpaku. Tapi aku tak terlalu peduli, sebab aku masih bingung bagaimana caranya mempertanggungjawabkan semua ini pada Ayah.
Bersama teman-teman, aku berusaha membersihkan patahan-patahan itu dari bawah pohon. Kurasakan nyeri di sekujur tubuhku kian menjadi-jadi. Semakin membuatku tak berdaya untuk sekadar melangkahkan kaki. Karena itulah terpaksa aku pamit pada teman-teman sebelum patahan-patahan itu selesai dibuang ke sebuah jurang.
Aku kemudian rebah di kamar. Berharap segala rasa sakit mereda setelah bangun tidur. Tapi tiba-tiba kudengar keributan di luar sebelum mataku sempat terpejam. Apa yang aku khawatirkan ternyata benar. Teman-teman ketahuan Ayah hingga akhirnya dimarahi habis-habisan. Aku pun bernasib sama. Tapi aku sudah tak peduli lagi. Sebab perhatianku sudah tersita oleh rasa sakit yang kualami.
Selama beberapa hari, aku hanya tergolek lemah di atas ranjang. Kadang aku mendengar Ayah berteriak-teriak tak keruan di luar. Mungkin Ayah mengusir teman-teman yang hendak menjengukku karena sejak kecelakaan itu aku memang tak pernah keluar menampakkan batang hidung. Ya, mungkin mereka rindu atau mungkin khawatir tentang keadaanku.
Sudah lebih seminggu, aku belum juga pulih. Kukira ada yang aneh dengan penyakit yang kuderita ini? Adakah hubungannya dengan patahnya dahan pohon? Aku teringat teman-teman. Aku ingin bertemu mereka agar setidaknya tidak membuat mereka terlalu khawatir.
Suatu hari, aku terpaksa membuka jendela karena pintu rumah dikunci Ayah dari luar. Aku bersandar pada jendela, menyaksikan indahnya pemandangan luar. Pohon-pohon meliuk-meliuk diterpa angin. Daun-daun menguning luruh menutupi jalanan. Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing.
“Royhan …!” Sebuah suara tiba-tiba memanggilku dari jalanan.
Tak kusangka teman-teman melihatku, lalu menghampiriku dengan wajah yang begitu girang. Di hadapanku, mereka tak berhenti memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan soal kabarku selama beberapa hari itu. Aku jawab bahwa aku baik-baik saja. Namun mereka tak percaya. Mereka mengatakan bahwa aku menderita sakit dan menjadi bulan-bulanan Ayah sejak kecelakaan itu.
Setelah ngobrol cukup lama dan yakin dengan keadaanku, teman-teman kemudian pulang dengan wajah yang sulit kugambarkan. Aku tahu mereka begitu peduli padaku. Tapi kepulangan mereka sepertinya membawa hal yang disembunyikan. Langkah mereka begitu tidak tenang, menandakan betapa perasaan mereka tidak baik-baik saja.
Malam bertandang dan mataku pun terpejam. Aku berharap malam menghapus semuanya: rasa sakit yang kuderita, Ayah yang masih menyimpan marah, juga sikap teman-teman yang tak kumengerti. Namun pagi malah menyuguhkan hal lain. Ayah tiba-tiba berteriak histeris, dan begitu kutengok ke luar, ternyata pohon mangga telah tumbang memenuhi halaman.
Kota Ukir, 2021
0 Komentar